
Hoaxs telah kian meresahkan. Fenomena ini kian lama makin membesar seperti gunung es. Dampaknya membuat kacau setiap sendi kehidupan berbangsa. Adalah tanggung jawab semua pihak untuk membendungnya, jika kita mengaku cinta kepada bangsa ini.
Peringatan Ketua DPRK RI Bambang Soesatyo tentang bahaya hoaxs kepada intansi-instansi berwenang di negara ini akan maraknya hoaxs di Medsos terutama jelang Pemilu 2019 bukanlah isapan jempol belaka. Jika tidak mendapatkan perhatian serius akan membecah belah bangsa.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), mencatat terdapat 230 hoaks yang terklarifikasi sebagai disinformasi selama periode Juli-September 2018. Rinciannya, hoaks pada Juli 2018 sebanyak 65 konten, Agustus 2018 sebanyak 79 konten, dan meningkat menjadi 107 konten pada September 2018. Hoaks politik mendominasi paling banyak dibandingkan isu lainnya.
Mafindo merincikan sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks itu, yakni narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%).
Pola pengguna internet di masyarakat Indonesia yang malas membaca informasi dengan lengkap bahkan ikut menyebarluaskan lewat sosial media semakin memperparah maraknya beredarnya berita-berita bohong disekitar kita.
Hoaks-hoaks politik sebenarnya sangat mengancam demokrasi. Jika diacuhkan, akan dapat memicu keributan dan akan mengarah terhadap disintegrasi bangsa. Selain dapat menurunkan kredibilitas penyelenggaraan pemilihan umum. Kualitas pemilihan dipastikan juga akan menurun dan dan merusak rasionalitas pemilih.
Mau tidak mau, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Polri harus segera melakukan tindakan-tindakan preventif. Pelaku yang terbukti menyebarkan hoaks di media online, media cetak, maupun medsos sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku tanpa pandang bulu.
Meski sebenarnya, Polri sudah berusaha melawan hoax dengan membuat tim untuk menangkalnya. Menghadapi Pilpres 2019 Polri telah membentuk Satgas Nusantara untuk memberantas hoaks, namun harus diakui tetap saja ada hoaks yang beredar di keseharian masyarakat.
Tak cukup penegakan hukum, paling penting edukasi masyarakat tentang cara mencermati informasi yang mereka terima. Peran figur publik mengkampanyekan literasi digital kepada masyarakat harus digalakkan. Disadari figur publik memiliki pengaruh kepada masyarakat dan dapat menembus ruang gaung yang terjadi di antara sekat-sekat kelompok masyarakat.
Terakhir tugas berat melawan hoaks ada di pundak insan Pers. Media mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada publik menjadi penyaring informasi-informasi yang beredar di publik dan menyajikan pemberitaan yang benar, sesuai fakta, dan berimbang, memihak kebenaran dan kepentingan rakyat, serta tidak takluk pada kepentingan pemodal. (Arsadi Laksamana)