DPRA: Pembatalan Qanun Bendera Mengkhianati Rakyat Aceh

Ketua Komisi I DPRA, Tgk Azhari Cage

BANDA ACEH – Beberapa waktu belakangan ini beredar surat dari Kementerian Dalam Negeri RI Nomor 188.34/2723/SJ tertanggal 26 Juli 2016 tentang Pembatalan Qanun (perda) Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Kondisi membuat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) bereaksi dan menilai, bila benar pembatalan itu, maka telah mengkhianati rakyat dan perdamaian di Aceh.

Kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (1/8), Ketua Komisi I DPRA, Tgk Azhari Cage mengatakan, pembatalan Qanun dimaksud dilakukan secara sepihak oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang ditandatangi oleh Mendagri Tjahjo Kumolo.

Bacaan Lainnya

“Apabila ini benar kami tegaskan dan menolak  secara tegas terhadap pembatalan sepihak ini, karena berada diluar prosedur dan tidak melalui makanisme serta tidak pernah dimusyawarahkan dengan DPR Aceh,” katanya.

Azhari menyebutkan, surat Mendagri tersebut yang memuat lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 188.34-4791 Tahun 2016 tentang Pembatalan Beberapa Ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Surat tersebut, katanya, terkesan janggal, karena ada tembusannya ke DPRA. Tapi, lanjutnya, sejak dikeluarkan sampai saat ini, tembusannya belum pernah diterima DPRA. Padahal, katanya, dalam surat itu terdapat poin penting yaitu sejak dikeluarkan surat ini sampai jangka waktu 14 hari, apabila keberatan bisa mengajukannya ke Presiden Republik Indonesia.

“Karena belum diterima oleh DPR Aceh, maka bagi saya surat ini adalah pengkhianatan terhadap Aceh dan pengkhianatan terhadap perdamaian Aceh. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan, karena ini makanisme yang tidak lazim secara Peraturan Perundang-undangan,” ujar Azhari.

Selain itu, Azhari menilai, surat tersebut juga sebuah pengkianatan terhadap perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka seperti tertuang dalam kesepakatan damai atau lebih dikenal Memorandum of Understandng (MoU) Helsinki dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA.

Menurutnya, sejak tahun 2011 sampai sekarang diketahui bahwa pembahasan bendera dan lambing Aceh masih dalam masa jeda atau sering disebut ‘cooling down’ dan belum pernah pembahasan apapun untuk pembatalan.

Oleh karena itu, katanya, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dianggap masih sah secara hukum karena pembatalannya tidak sah. Dikatakannya, bila pihak pemerintah pusat terus-menerus mengkhianati Aceh, maka kepercayaan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat akan hilang.

“Yang berakibat terancamnya keutuhan perdamaian Aceh yang sudah menjadi model dunia. Saya berharap berhentilah dengan terus mengobok-mengobok Aceh dan kita tegaskan menolak dengan tegas pembatalan dimaksud dan kita menganggap Qanun itu masih sah sebelum ada pembicaraan sesuai dengan makanisme.” katanya. (red)