BANDA ACEH – Rancangan Qanun (Raqan) tentang Hukum Keluarga masih dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dalam Raqan tersebut, salah satu fungsinya adalah untuk menertibkan Kadhi (penghulu) liar, yang kedepan bisa dihukum cambuk.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Komisi VII DPRA, Kamis (1/8/2019) dihadiri sejumlah elemen. RDPU ini digelar sebagai salah satu proses penyempurnaan produk legislasi.
Ketua Komisi VII DPRA, Ghufran Zainal Abidin, mengatakan, dari semua pasal yang ada di dalam Raqan Keluarga ini, fungsinya untuk ketahanan rumah tangga dan meminimalisir terjadinya perceraian di masyarakat dan juga untuk menertibkan praktik kadi liar yang dinilai meresahkan.
“Dengan adanya qanun ini nanti, kita berharap ke depan tidak ada lagi praktik kadhi liar. Ke depan kadhi liar ini akan ada sanksi berupa denda 20 sampai 100 gram emas, atau dikonfersi ke hukuman cambuk dari lima sampai 25 kali cambuk, bagi yang melanggar ketentuan di dalam qanun ini,” kata Ghufran.
DPRA telah menggelar RDPU, diikuti oleh perwakilan Pemerintah Kabupaten/Kota, unsur Ulama, tokoh perempuan dan para pihak terkait lainnya. Seperti diketahui, Raqan Hukum Keluarga menuai pro dan kontra, karena didalamnya memuat pasal tentang poligami.
Lebih lanjut, Ghufran mengatakan, selama ini publik salah persepsi menilai Raqan Hukum Keluarga yang merupakan usulan dari eksekutif. Terutama ada bab yang mengatur tentang poligami dan menikah di bawah tangan (siri).
Padahal dalam Raqan tersebut, katanya, memiliki aturan ketat yang harus dilakukan. Selain itu, Raqan ini justru memberikan perlindungan kepada anak dan juga istri. “Lebih dari satu istri harus melalui Mahkamah Syariyah. Jadi jangan salah diartikan,” ujarnya.
Dia menambahkan, untuk pernikahan siri yang selama ini sudah terjadi, akan dijadikan pelanggaran dan mendapatkan sanksi yang berat. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8, yaitu siapa pun yang terlibat dalam pernikahan dan tidak tercatat, dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 187.
Dalam BAB XXV tentang aturan sanksi Raqan tersebut, pasal 187 disebutkan pada pasal 1, ‘setiap orang yang melanggar ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 dikenakan sanksi denda paling rendah 20 gram emas murni 24 karat dan paling tinggi 100 gram emas murni 24 karat atau hukuman cambuk serendah-rendahnya 13 kali cambuk dan setinggi-tingginya 25 kali cambuk’.
Sedangkan pasal 8 ayat 2 berbunyi, ‘pelaksanaan pernikahan dan pencatatan pernikahan dilarang dilakukan oleh orang yang tidak berwewenang, termasuk kadhi liar’.
“Timbulnya Raqan Hukum Keluarga untuk memberikan ketertiban dalam memenuhi hak istri dan perlindungan anak yang lebih baik. Dari semua pasal yang ada dalam Qanun Keluarga, merupakan filosofi dan semangat untuk ketahanan rumah tangga di Aceh,” jelasnya.
Ghufran berharap, dengan adanya Raqan Hukum Keluarga. Kedepan tidak ada lagi pernikahan liar. Jika pun kedapatan, maka pernikahan liar itu akan dikenakan sanksi. “Untuk itu kita berharap praktik pernikahan yang tak ketahui, tidak aka ada lagi di Aceh,” katanya.
Ketua DPRA, Sulaiman mengatakan, dasar hukum penyusunan Raqan Hukum Keluarga ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. “Aceh tidak dapat dipisahkan dengan syariat Islam,” katanya.
Dikatakannya, ada sejumlah aturan yang tidak terakomodir dalam regulasi nasional akan dimasukkan dalam Raqan tersebut. Seperti mengatur, membina, menjamin hak-hak dan menyelesaikan berbagai persoalan keluarga secara komprehensif di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Rujukan lainnya, kata Sulaiman, Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, ketentuan lebih lanjut mengenai Pernikahan, Pemutusan Hubungan Pernikahan, dan Warisan (mawaris) dapat diatur dalam Raqan Hukum Keluarga itu.
“Karena itu Pemerintah Aceh merasa perlu membentuk Qanun Aceh Tentang Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah) ini, untuk menjamin perlindungan hak bagi suami, istri, dan anak dalam keluarga,” jelasnya. (red)