BANDA ACEH – Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini diketahui dari adanya temuan 825 kasus berdasarkan rekapitulasi Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi VI DPRA, Sulaiman Ali, dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Rancangan Qanun (perda) Aceh Tentang Tatacara Penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak, Senin, (19/8/2019).
Dikatakannya, jumlah tersebut sama dengan temuan Lembaga terkait. “Angka tersebut sama halnya dengan rekap Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH Apik), dan Polda Aceh tahun 2018,” kata Sulaiman Ali.
Sulaiman menyebutkan, dalam rentangwaktu enam bulan pertama di tahun 2018 saja, terdapat 400 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 425 kasus kekerasan terhadap anak yang tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh.
Diungkapkannya, kota Banda Aceh masih mendominasi angka tertinggi catatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, diikuti Kabupaten Aceh Utara. “Data sebelumnya juga cukup memprihatinkan,” ujarnya.
Dikatakan, dari 2015 sampai dengan 2017, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh mencatat peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup signifikan.
Sebanyak 939 kasus pada tahun 2015, meningkat jadi 1.648 tahun 2016, dan meningkat lagi jadi 1791 pada tahun 2017. Data tersebut merupakan data yang tercatat karena ditangani oleh lembaga pengada layanan. “Namun kita yakin bahwa jumlah yang riil adalah jauh lebih banyak,” ujar Sulaiman Ali.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kondisi tersebut tidak bisa dipandang sebagai hal biasa, tapi kondisi luar biasa yang penangananya memerlukan upaya luar biasa pula. Pada tingkat nasional, katanya, telah ada berbagai regulasi terkait dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sulaiman Ali mencontohkan salah satunya yakni, UU No. 23 / 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 17 / 2016, dan UU No. 23 /2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Menyadari kondisi tersebut, katanya, UU No. 11 / 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam pasal 231 mengamanahkan agar Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat, yang pelaksanaannya diatur dengan qanun.
“Untuk itu telah dibentuk antara lain Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak dan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang pemberdayaan dan perlindungan perempuan,” kata Sulaiman Ali.
Meskipun demikian, katanya, keberadaan berbagai regulasi dimaksud yang masih bersifat normative, dan belum dapat secara efektif menggerakkan upaya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Oleh karena itu, kata Sulaiman, diperlukan regulasi khusus yang dapat mengefektifkan realisasi dari norma-norma yang telah diatur dalam regulasi yang telah ada. Regulasi baru dimaksud, berupa Qanun Aceh, yang diperlukan untuk memastikan pemenuhan rasa keadilan bagi korban kekerasan.
Bahkan, katanya, termasuk mengatur dukungan aparatur penegak hukum, Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) lintas sektor, pemerintahan kabupaten/kota, organisasi masyarakat sipil (oms) dan masyarakat lainnya.
“Mencermati hal tersebut diatas, dpra sebagai representasi rakyat Aceh, dalam hal ini komisi VI, berinisiatif mengusulkan rancangan qanun tentang ‘Tata Cara Penyelesaian Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak’ sebagai hak inisiatif DPRA dalam program legislasi 2019 ini,” sebutnya.
Setelah melalui pembahasan yang panjang, kata Sulaiman Ali, rancangan qanun tersebut disempurnakan menjadi Rancangan Qanun Aceh tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. (b)