Peristiwa Pagi Bersimbah Darah, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Perlu Tahu

Analisisnews.com/Junaidi.
Foto alm. Prof. Dr. H Safwan Idris MA, pernah menjadi rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (saat ini menjadi UIN) sebelum tragedi bersimbah darah itu. Senin (16/9/2019).

BANDA ACEH – Siapa yang tidak tahu dengan kampus jantung hati rakyat Aceh yang berada di Darussalam, ujung Sumatera itu. Dua kampus besar berdampingan cukup diminati oleh mahasiswanya dari berbagai penjuru di Indonesia bahkan luar negeri seperti Malaysia, Thailand dan lain sebagainya. Kampus tersebut adalah Universitas Syiah Kuala dengan UIN (sebelumnya IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. 

Dibalik megahnya kedua kampus tersebut, ada kisah dan sejarah yang tersimpan yang masih menjadi misteri sejak tragedi 16 September 2000 lalu, sehingga mahasiswa kedua kampus itu khususnya UIN Ar-Raniry (saat ini) wajib tahu mengenai tragedi pagi bersimbah darah menembus rahang rektor kampus tersebut.

Bacaan Lainnya

Dikutip dari serambinews.com, Rektor IAIN Ar-Raniry (saat itu) Banda Aceh, Prof Dr Safwan Idris MA meninggal dunia ditembak oleh dua orang yang tidak dikenal di rumahnya sendiri, yaitu di jalan Alkindi, Kopelma Darussalam.

Kedua kampus berduka dan mendapatkan luka dalam karena kehilangan ulama, pejuang dan rektor terhebatnya. Kejadian itu diabadikan sendiri oleh waktu yang terjadi pada tanggal 16 September 2000.

Seperti biasa, diketahui Prof Safwan Idris usai shalat subuh melakukan aktivitas akademiknya di ruang kerjanya sejak pagi buta bersama komputernya.

Sekira pukul 06.45 WIB, dua orang pria yang mengendarai sepeda motor mendatangi rumah Profesor. Saat itu, pintu rumahnya masih terkunci rapat. Kedatangan dua tamu tak dikenal itu diketahui oleh pembantu Prof Safwan, sang pembantu bergegas mendekat dan menanyakan maksud dari kedatangan dua pria itu.

Kepada pembantu, kedua pria tadinya mengaku merupakan mahasiswa dan ingin bertemu dengan Prof Safwan untuk menyampaikan suatu hal penting.

Sang pembantu tak langsung membuka pintu gerbang rumah Prof, melainkan pembantu terlebih dulu melaporkan maksud kedua pria yang tidak dikenal itu kepada istri Prof Safwan, Ny Hj Alawiyah.

Karena alasan ingin bertemu dengan suaminya dan diyakini sebagai mahasiwa, Ny Alawiyah pun mempersilahkan kedua pria tersebut masuk ke ruang tamu rumahnya. Keduanya dipersilakan untuk menunggu Prof Safwan karena masih ada aktivitas di ruangan kerjanya.

Tanpa sedikitpun menyimpan rasa curiga, kemudian sang istri menemui Prof dan memberi tahu suaminya bahwa ada tamu yang sedang menunggu, sementara Ny Alawiyah pun pergi ke dapur.

Prof Safwan menemui kedua tamu yang sudah menunggunya di ruang tamu. Saat disinilah kedua pelaku tersebut beraksi dan menembak sadis guru besar IAIN itu. Saat terjadinya penembakan itu, bunyi tembakan mengagetkan seisi rumah dan tetangga sekitar.

Ny Alawiyah bergegas mencari tahu suara tersebut, dan diyakini berasal dari dalam rumahnya itu. Tidak disangka, Alawiyah melihat orang yang paling dicintainya itu tergeletak di lantai rumahnya dengan posisi telungkup dan tidak sadarkan diri.

Darah Prof mengalir dan berceceran di lantai, sementara kedua tamu yang menjadi pelaku pembunuhan sadis itu tadinya langsung lari dan tancap gas dari rumah Prof Safwan

Prof Safwan ditembak secara sadis oleh pelaku dari jarak dekat, yang hingga kini masih menyisakan misteri. Peluru menembus bagian rahang kiri bawah hingga tembus belakang.

Dalam catatan Litbang Serambi Indonesia, Prof Safwan sempat dirawat setengah jam di RSU Zainoel Abidin sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Sang Profesor yang dikenal sebagai ulama dan tokoh intelektual Aceh tersebut pergi untuk selamanya. Tragedi ini menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Aceh.

Dari kejadian 19 tahun itu hingga sampai saat ini, pelaku maupun motif pembunuhan Prof Safwan Idris masih menyisakan misteri. Polisi belum berhasil mengungkap pelaku pembunuhan pagi bersimbah darah itu bahkan, Pihak Kontras Aceh juga pernah melakukan napak tilas terhadap tragedi pembunuhan Prof Safwan Idris namun belum memiliki hasil.

Mahasiswa harus tahu, Prof Safwan Idris merupakan rektor ketujuh yang memimpin IAIN Ar-Raniry. Sebelum dipilih menjadi rektor, almarhum sempat menduduki jabatan penting di kampus tersebut, termasuk dekan Fakultas Tarbiyah.

Selain sebagai seorang rektor, Prof Safwan juga dikenal sebagai sosok atau tokoh Aceh yang cukup berpengaruh. Almarhum merupakan seorang ulama sekaligus seorang pejuang dan mujahid serta mujaddid (pembaharu).

Salah satu asisten Prof Safwan Idris, Drs Rusli Ibrahim mengatakan, Prof Safwan merupakan orang yang pandai, jujur dan tegas. Tingkat keilmuan yang dimilikinya menjadikan orang ternama di Aceh, sama halnya dengan Prof Dr Dayan Dawood.

Selain itu, dalam catatan lain misalnya, Putra asli Aceh Rayeuk kelahiran Siem ini merupakan sosok visioner dan berani. Sempat jauh-jauh hari dirinya menyatakan dalam pandangannya tentang konflik Aceh, bahw konflik di Aceh tidak akan pernah selesai jika penyelesaiannya dilakukan dengan cara represif dan pendekatan militeristik.

Anak ulama Aceh, Idris itu turut mendukung gerakan reformasi 98 oleh mahasiswa, serta turut menuntut pencabutan DOM Aceh 1989-1998. Dua bulan sebelum terjadinya tragedi pembunuhan berdarah itu, Prof Safwan dipercaya oleh Presiden Habibie menjadi anggota Komisi Independen Pengusut Tindak Kekerasan di Aceh dengan masa tugas hingga Juli 2000.

 Visioneritas Safwan Idris juga terlihat pada banyak pemikiran beliau yang hari ini masih dimplementasikan, salah satunya pengelolaan zakat melalui BAZIS.

Semenjak kejadian penembakan Prof Safwan Idris, bisa disebut awal mula dari kejadian penembakan atau penculikan para tokoh Aceh lainnya saat konflik berkecamuk.

Sembilan bulan kemudian setelah berpulangnya Prof Safwan Idris, HT Johan menemui ajalnya diterjang timah panas pada hari Kamis tanggal 10 Mei 2001.

Selang beberapa bulan dari kejadian itu dan Aceh belum lagi hilang duka akibat meninggalnya HT Djohan, kembali terjadi peristiwa mengenaskan pada Kamis 6 September 2001. Kali itu giliran Rektor Unsyiah, Prof Dr Dayan Dawood juga meregang nyawa akibat penembakan timah panas orang tak dikenal. (Junaidi Delung)