
BLANGPIDIE-Sebutan tolak bala bagi kalangan masyarakat Aceh Barat Daya (Abdya) dan sekitarnya bukanlah sebuah hal yang asing. Dalam tradisi masyarakat Abdya dan di kawasan pantai Barat-Selatan Aceh pada umumnya, ritual tolak bala atau lebih akrab dengan sebutan Uroe Rabu Abeh telah melekat dan selalu dirayakan pada setiap tahun tepatnya di akhir bulan Safar. Saat ini, tradisi tolak bala sudah mengalami banyak perubahan. Umumnya masyarakat lebih memilih makan bersama di lokasi objek wisata dan dijadikan sebagai hari rekreasi bersama sanak keluarga. Namun ada juga masyarakat yang mengisi hari tersebut dengan melaksanakan doa bersama di masjid ataupun musala.
Rabu Abeh biasanya dilaksanakan pada hari Rabu terakhir dalam bulan Safar yang merupakan salah satu bulan di dalam kalendar tahun Hijriah. Bulan ini diidentik dengan cuaca pancaroba atau suasana yang tidak menentu serta beraura kurang baik terhadap kebugaran fisik maupun psikis yang membuat manusia menjadi rentan oleh ganguan berbagai jenis penyakit sehingga di Aceh sering juga disebut sebagai bulan panas atau buleun seuum.
Namun sebagian warga Abdyajuga ada yang mengabaikannya, karena menganggap ritual Rabu Abeh tidak di syariatkan dalam agama Islam. Sementara itu ada juga sebagian bagi anak-anak hingga orang dewasa yangmemanfaatkan ritual Rabu Abeh ini untuk ajang mandi laut ataupun sungaisepuasnya.
Dulu, bagi sebagian masyarakat di Abdya dan Aceh pada umumnya, bulan ini awalnya diidentik sebagai bulan turun bala. Belum lagi berbagai gejala alam yang sangat sulit diprediksi, namun ditenggarai sebagai pengaruh global warning yang memicu semakin seringnya terjadi disharmonisasi alam seperti kebakaran hutan, lahan gambut, banjir, angin kencang dan sebagainya.
Menurut kronologis berdasarkan kajian historis dan pandangan masyarakat tempo dulu, bahwa Rabu Abeh memang diidentik dengan bulan bala, dan harus dilakukan prosesi untuk menghindari malapetaka yang lebih besar dengan melakukan prosesi tulak bala yang dirayakan pada akhir bulan ini.
Prosesi tolak bala pada masa lalu dilakukan dengan cara kegiatan berdoa bersama baik di masjid, musala, sungai, pantai, ataupun di tempat pemandian yang dipimpin oleh seorang teungku atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan dengan tolak bala. Pada akhir prosesi tolak bala yang dilakukan dengan memanjatkan doa bersama itu, akan dilanjutkan dengan kenduri berupa makan bersama-sama dari bekal berupa nasi beserta lauk pauknya yang sudah dibawa dari rumah masing-masing.
Pada masa sekarang ini, Rabu Abeh atau tolak bala tidak lagi bermakna sakral namun sudah berwujud provan sebagai salah satu sarana peningkatan kesadaran rekreasi pada tataran lokal, terutama meningkatnya daya tarik wisatawan lokal terhadap tempat-tempat rekreasi yang ada di wilayah Abdya, seperti sungai Babahrot, pemadian Kuala Batee, pemandian Alur Sungai Pinang, pantai Lama Tuha, Pantai Cemara Indah, Pantai Jilbab, Pantai Bali, Krueng Beukah, Pantai Ujong Tanoh, Ujong Pasi Manggeng sampai Krueng Baru, Pulau Gosong dan sejumlah objek wisata lainnya di kawasan pantai Barat-Selatan Aceh.
Pada pelaksanaan Rabu Abeeh saat ini, telah membuat pihak penegak hukum syariah seperti Wilayahtul Hisbah (WH) di Abdya harus bekerja ekstra dan bertindak preventif untuk mengontrol kegiatan itu, dalam mengaplikasi syariat Islam dengan meminimalisir terjadinya hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.Aktivitas yang banyak dilakukan pada hari tersebut, banyak orang yang mandi ke laut atau sekedar berlibur.
“Setiap bulan Safar, masyarakat Aceh melakukan doa bersama dipinggir pantai dan membawa bekalan untuk dimakan bersama-sama dengan keluarga. Tapi, untuk sekarang ini tolak bala atau Rabu Abeh telah beda pelaksanaannya. Dimana masyarakat lebih cenderung kepada kegiatan rekreasi bersama. Namun ada juga bagi kalangan muda yang salah dalam pemanfaatan Rabu Abeh, sehingga membuat aparat hukum yang bertindak tegas dalam menegakan aturan,” ujar Syahrizal, warga Kecamatan Tangan-Tangan, Rabu (23/10/2019).
Sehari menjelang hari Rabu Abeh, bagi sebagian masyarakat Abdya juga membuat sebuah persiapan yang tidak jauh berbeda dengan persiapan menjelang lebaran atau menyambut puasa Ramadan. Ragam jenis makan dibuat untuk disajikan di hari Rabu Abeh yang nantinya untuk disantap bersama keluarga serta kerabat. Seperti, lemang, ketupat, srikaya,timpan, kolak, bubur, ragam jenis gulai daging dan banyak jenis makanan lainnya yang dimasak menurut selera dan serta tradisi.
Dihari persiapan itu, masyarakat beramai-ramai memadati pasar untuk mendapatkan kebutuhan bumbu dapur hingga berburu daging dan ikan dengan ukuran besar. Mereka tidak tanggung-tanggung dalam mengeluarkan biaya hanya untuk mendapatkan ragam makanan yang secara khusus dipersiapkan.(ag)