Harga Kakao Capai Rp.139.800/kg

Harga Kakao Capai Rp.139.800/kg
Ilustrasi

BLANGPIDIE-Harga komoditas perkebunan kakao (Theobroma cacao L) di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) mengalami kenaikan harga yang signifikan. Bahkan harga biji kering kakao yang ditampung pengusaha eksportir pasaran Medan Sumatera Utara mencapai Rp.139.800/kg. Harga tersebut merupakan harga tertinggi sejak puluhan tahun terakhir.

“Tingkat harga tersebut mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Malahan melihat keterbatasan ketersediaan stok bahan di pasaran, besar kemungkinan harga kakao berpotensi naik lagi,” ungkap H Adnan Johan, salah seorang penampung kakao produksi Aceh di Medan, Senin (1/4/2024).

Dikatakan, lonjakan harga kakao terjadi sejak awal 2024 atau selama kurun waktu tiga bulan terakhir. Harga kakao akhir tahun 2023 pernah mencapai Rp 41.000, namun sempat turun lagi. Tiba-tiba harga kakao kering meningkat sejak awal Januari 2024 sampai Februari, harga ditampung pengusaha eksportir Medan meningkat signifikan mencapai Rp 75.000/kg.  Kemudian naik lagi  menjadi Rp 99.800/kg pada 15 Maret 2024.

Tidak hanya sampai disitu, tanggal 16 Maret melonjak lagi menembus harga Rp 111.500/kg. Bahkan pada tanggal 26 Maret 2024 harga coklat kering yang ditampung PT SCC, salah satu pengusaha eksportir di Medan melonjak nyaris menyentuh Rp 140.000, tepatnya Rp 139.800/kg, tingkat harga yang belum pernah terjadi kurun waktu 50 tahun terakhir.

Menurutnya, melambungnya harga coklat selama tiga bulan terakhir akibat terbatasnya peredaran bahan baku sejak awal 2024. Penyebab utama kelangkaan karena terjadi krisis panen di negara Pantai Gading dan  Ghana sebagai negara penghasil kakao di dunia.

H Adnan Johan, pedagang asal Lama Inong Kuala Batee KabupatenAbdya itu sekarang membuka gudang penampungan di Medan menjelaskan, kelangkaan kakao saat ini terjadi di Aceh. Produksi dalam jumlah terbatas hanya ada di Kabupaten Aceh Tenggara dan Pereulak Kabupaten Aceh Timur. Sedangkan dari Kabupaten Abdya, Nagan Raya dan Aceh Selatan yang pernah dikenal sebagai daerah penghasil kakao di Aceh, kini bahan bakunya sangat sulit diperoleh.

“Saya hanya menerima kiriman kakao kering dari pedagang dari Meukek Kabupaten Aceh Selatan dalam jumlah ratusan kilogram sekali pengiriman,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, bahan baku kakao kering yang terkumpul dalam kisaran 500 sampai 800 kg, kemudian dipasok ke pengusaha eksportir di Medan. Melihat trend perkembangan kenaikan harga kakao sangat luar biasa, dia mengajak petani di Kabupaten Abdya, termasuk kabupaten lain di Aceh untuk kembali menanam tanaman kakao. Ajakan ini, setelah petani Kabupaten Abdya, termasuk di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Selatan, ramai-ramai menebang pohon kakao yang terjadi era tahun 2000-an. Tindakan ekstrem ini dilakukan setelah harga di pasaran mengalami stagnan paling tinggi Rp 30.000/kg.

Kondisi semakin diperburuk dengan serangan hama yang menyerang tanaman kakao sangat sulit dikendalikan. Buah kakao yang terserang hama dalam waktu singkat berubah warna menjadi hitam, lalu membusuk dan akhirnya gagal panen.  Produksi tanaman kakao turun drastis sehingga para petani tidak bergairah lagi merawat areal tanaman kakao milik mereka. Lalu, para petani mengambil jalan pintas dengan menebang tanaman kakao, kemudian di lahan bekas tersebut ditanami tanaman kelapa sawit. Tindakan ini  terjadi di kawasan Kabupaten Abdya, juga di kawasan Kabupaten Nagan Raya, terutama di Kecamatan Darul Makmur, Kecamatan Tripa Makmur, termasuk Kecamatan Kuala Pesisir.

Alhasil, perkebunan tanaman kakao  di daerah tersebut tidak ditemukan lagi. Kalau pun masih ada hanya pohon kakao dalam jumlah terbatas tumbuh di lahan perkarangan rumah, pojok-pojok kebun dan pohon kakao yang tumbuh di pagar areal perkebunan lain di kawasan pedesaan. Tentu, produksinya tidak bisa diandalkan lagi, meskipun di tengah terjadi lonjakan harga sangat luar biasa.(ag)