BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar Rapat Paripurna penandatanganan komitmen untuk menjalankan butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Kamis (12/9/2024). Acara ini dihadiri oleh pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Muzakir Manaf alias Mualem dan Fadhlullah Dekfad, serta calon gubernur Bustami.
Namun, Bustami hadir tanpa calon wakilnya, Tgk Muhammad Yusuf A Wahab atau Tu Sop, yang wafat pada Sabtu (7/9/2024). Absennya calon wakil gubernur dalam pasangan tersebut menimbulkan perdebatan di dalam sidang.
Dalam sidang, anggota DPRA, Tgk M Yunus M Yusuf, mengajukan intruksi terkait kelengkapan persyaratan pasangan calon. Ia mempertanyakan legalitas Bustami menandatangani naskah komitmen tanpa kehadiran wakilnya.
“Sesuai ketentuan, apakah pasangan calon yang tidak lengkap boleh menandatangani naskah ini? Kalau secara aturan memungkinkan, silakan lanjutkan. Jika tidak, mohon untuk ditunda,” ungkapnya di hadapan para peserta paripurna.
Sementara itu, anggota DPRA lainnya, Abdurrahman Ahmad, turut mendukung pandangan tersebut. Ia meminta agar penandatanganan Bustami ditunda hingga calon wakilnya ditetapkan sebagai pengganti Tu Sop.
Meski perdebatan sempat memanas, Ketua DPRA Zulfadli, yang akrab disapa Abang Samalanga, memutuskan untuk melanjutkan proses penandatanganan bagi pasangan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah Dekfad.
Keduanya menandatangani naskah komitmen yang berisi pernyataan kesiapan untuk melaksanakan butir-butir MoU Helsinki, sebuah perjanjian damai yang menjadi dasar berakhirnya konflik bersenjata di Aceh.
Absennya Tu Sop, yang wafat beberapa hari sebelum acara, memberikan dampak besar pada dinamika politik Aceh. Bustami, sebagai kandidat gubernur, menghadapi tantangan besar untuk segera mencari calon wakil yang mampu melengkapi pasangan tersebut dalam waktu dekat.
Dalam pidatonya usai paripurna, Bustami menyatakan komitmennya terhadap MoU Helsinki meskipun belum memiliki pasangan. “Saya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai damai dan konsensus yang terkandung dalam MoU Helsinki. Proses pencarian pendamping sedang kami upayakan, dan kami mohon doa serta dukungan masyarakat Aceh,” ujarnya.
Acara ini mencerminkan kompleksitas politik Aceh menjelang Pemilihan Gubernur 2024. Sebagai daerah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam tata kelola pemerintahannya, pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki menjadi ujian bagi para kandidat untuk memastikan kesinambungan perdamaian dan pembangunan.
Kedepannya, DPRA diharapkan memainkan peran aktif dalam mengawal proses demokrasi dan memastikan semua pasangan calon mematuhi aturan yang berlaku. Situasi ini menjadi pengingat bahwa komitmen terhadap MoU Helsinki tidak hanya menjadi dokumen formal, tetapi juga landasan untuk membangun masa depan Aceh yang lebih baik. (par)